PERAN PEMERINTAH TERHADAP ANGGARAN PENDIDIKAN UNTUK KUALITAS SEKOLAH di-INDONESIA MELALUI DANA APBN

 

PERAN PEMERINTAH TERHADAP ANGGARAN PENDIDIKAN UNTUK KUALITAS SEKOLAH di-INDONESIA MELALUI DANA APBN

NAMA : ATIKA NAFRIDAYANTI

KELAS : 1EB16

NPM : 21213479

TOPIK : APBN

   I.  PENDAHULUAN

  • LATAR BELAKANG

“Setiap orang berhak mengembangkan dirinya melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia “. Pernyataan diatas menunjukkan bahwa pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan setiap umat manusia. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menjamin hal tersebut. Pada Pasal 31 Ayat (1) diatur bahwa Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang sudah diatur oleh UU. Perhatian bangsa Indonesia akan pentingnya pendidikan sangat besar. Sejak Indonesia merdeka sampai dengan saat ini pembangunan pendidikan telah mengalami kemajuan yang berarti. Reformasi pendidikan nasional secara mendasar melalui tata aturan perundang-undangan telah dimulai sejak tahun 1999, yaitu sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dimana dalam undang-undang tersebut

dicantumkan bahwa pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia. Selain Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, Amandemen II UUD 1945 Tahun 2000 juga menegaskan bahwa mengenyam pendidikan merupakan hak asasi manusia.

Mutu pendidikan di Indonesia sampai saat ini masih menjadi “pertanyaan besar” bagi kalangan pemerhati pendidikan mengingat masih rendahnya mutupendidikan kita dibanding dengan negara-negara berkembang lainnya, seperti Malaysia dan Singapura. Demikian pula tingkat pemerataan mutu pendidikansekolah dan madrasah secara nasional masih memperUhatkan perbedaannya yangcukup tajam, antara sekolah di kota besar dengan sekolah yang berada dipedesaan. Ditambah lagi fakta sosial menunjukkan masih rendahnya tingkat kemampuan ekonomi masyarakat untuk bisa memperoleh pendidikan yang layak dan bermutu bagi anaknya, sehingga hal ini mengesankan bahwa kebijakan pemerintah di sektor pendidikan belum memihak kepada rakyat.

Di Indonesia pemerintah sudah memberikan anggaran khusus untuk sector pendidikan, tetapi belum sepenuhnya merata di Indonesia. Kenapa? Karena masih banyak anak di Indonesia yang masih tidak sekolah, dikarenakan kekurangan biaya. ‘Untuk makan sehari hari saja tidak ada bagaimana untuk sekolah’ kata kata ini yang sering di lantunkan di tengah masyarakat pedesaan. Kurangnya sosialisasi dimasyarakat yang menjadikan orang orang di pedesaan tidak mengetahui kalau pemerintah sudah memberikan anggaran khusus seperti BOS dan sekarang ini sudah dibebaskan biaya sekolah sampai SMA.

Sumber-sumber pembiayaan pendidikan secara makro telah diatur dalam pasal 31 UUD 1945 yang mengamanatkan pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan. Dipertegas lagi oleh Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional ^JUSPN Tahun 2003) pasal 49ayat (2) yang menyatakan bahwa: “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sector pendidikan dan minimal 20% dari APBD. Pembiayaan pendidikan dengan asumsi bahwa pembiayaan pendidikan tidak boleh lepas dari kebijaksanaan keuangan Negara. Arti lain yaitu kegiatan-kegiatan pendidikan itu adalah dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan nasional.

 

Pembiayaan bagi sekolah di Indonesia sebagian besar berasal dari anggaran pemerintah (APBN, APBD) dalam bentuk anggaran rutin (DIK) dan anggaran pembangunan (DIP). Untuk membiayai penyelenggaraan program-program fungsional dan penunjangnya, sekolah juga menerima dana masyarakat dalam bentuk Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) dan dana lain yang jumlahnya relatif jauh lebih kecil daripada sumber-sumber dana pemerintah. Persentase peranan dana masyarakat ini akan jauh lebih kecil lagi jika diperhatikan bahwa anggaran pembangunan yang selain untuk membiayai kegiatan investasi dan pengembangan, juga digunakan untuk membiayai program-program fungsional sekolah seperti peningkatan kualitas guru, dan sejak tahun 2005 pemerintah mengalokasikan dana operasional sekolah seperti dana BOS.

Pendapatan ekonomi yang berbeda-beda setiap wilayah menyebabkan melambatnya kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk pendidikan. Kondisi ini yang menyebabkan pemerintah daerah berusaha menyesuaikan dengan angka tersebut. Untuk mencapai angka dana pendidikan minimal 20% selain gaji sangat sulit diwujudkan oleh pemerintah daerah. Rata-rata pemerintah daerah hanya bisa mengalokasikan dana pendidikan sekitar 10%. Kekurangannya dimintakan kepada masyarakat melalui pungutan-pungutan sekolah. Catatan: Apabila gaji diperhitungkan, maka dana pendidikan di Kabupaten Jember dan kabupaten sekitarnya sudah mencapai angka > dari 20%.

Sesuai dengan Pasal 46 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003, pendanaan pendidikan menjadi tanggung-jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Berkaitan dengan itu sekolah diharapkan mampu, sesuai dengan sumberdaya yang dimilikinya, untuk merancang berbagai program yang akan ditawarkan kepada masyarakat, menetapkan prioritas, dan membina/meningkatkan kerjasama dengan berbagai sumber dana yang potensial. Tidak kalah pentingnya adalah agar supaya sekolah mampu mengalokasikan sumberdaya terutama sumberdaya dana secara efisien dan efektif, karena pada dasarnya sumberdaya dana bersifat terbatas.

Dengan diterbitkannya UU No. 20 Tahun 2003 sekolah (negeri) mempunyai keleluasaan untuk memperoleh dana dari berbagai sumber lain di luar APBN/APBD, yaitu antara lain lewat iuran pendidikan, penerimaan siswa baru (PSB), hibah perorangan, dll. Tentu saja keleluasaan yang diamanatkan oleh undang-undang harus tetap memperhatikan kepada aturan main yang digariskan dalam UU, PP, dan Kepmen yang berlaku.

Keleluasaan memperoleh dana masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain favorit tidaknya suatu sekolah. Bagi sekolah favorit masyarakat/wali murid tidak segan-segan memberikan sumbangan yang terkait dengan pendidikan anaknya, sebaliknya bagi sekolah pinggiran yang biasa-biasa saja dana masyarakat sulit diharapkan. Akibatnya timbul dikotomi sekolah negeri yaitu sekolah negeri yang keuangannya banyak karena didukung oleh dana masyarakat dan yang keuangannya minim karena tidak mampu mendapatkan dana masyarakat. Dampak langsung yang dirasakan dari perbedaan ini pada akhirnya menyangkut kualitas siswa dan alumninya. Sekolah favorit maju dengan pesat sedangkan sekolah pinggiran stagnan dan sulit untuk mengejar ketinggalan.

 

Pungutan yang dilakukan oleh sekolah melalui komite sekolah kepada wali murid atau calon wali murid memiliki kelemahan. Temuan awal di lapangan tentang uang hasil pungutan dari masyarakat oleh sekolah, dari sekolah dasar hingga sekolah menengah negeri, di beberapa Kabupaten/Kota di Jatim, dikelola bersama sekolah dengan komite sekolah. Lebih  lanjut Kepala Sekolah dan Komite Sekolah berpendapat bahwa uang yang diperoleh mellui cara di atas merupakan uang komite, bukan uang Negara sehingga tidak perlu dimasukkan ke dalam rekening Negara atau APBD sebagai PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Tentu saja hal ini bertentangan dengan UU RI Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 huruf (i). Intinya “keuangan Negara adalah kekayaan pihak lain yang  diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah”.

 

Sekolah bersama komite sekolah (sebagai pihak lain) memperoleh dana masyarakat yang dipungut dari wali murid melalui berbagai cara dengan menggunakan fasilitas Negara atau difasilitasi oleh pemerintah/sekolah negeri. Dana sedemikian semestinya menjadi bagian dari keuangan Negara yang pengelolaannya harus mengikuti peraturan perundangan yang berlaku. Sejauh ini pemahaman sekolah (satuan pendidikan) bersama komitenya tentang dana pendidikan yang telah diatur di dalam PP RI Nomor 48 Tahun 2008 masih kurang sehingga perlu dilakukan survey yang komprehensif di beberapa kabupaten/kota untuk mengetahui seberapa banyak satuan pendidikan/komite yang sudah melakukan pengelolaan dana masyarakat sesuai dengan PP RI Nomor 48 Tahun 2008.

  • TUJUAN PENULISAN

Tujuan dari penuliasan ini adalah mengetahui sejauh mana pemerintah mengeluarkan anggaran untuk pendidikan, apakah anggaran pendidikan yang diberikan oleh pemerintah menjamin kualitas sekolah tersebut dan pendidikan di Indonesia maju. Kita juga bisa melihat dampak yang ditimbulkan dari biaya pendidikan terhadap mutu proses hasil belajar.

 

            II. TINJAUAN LITERATUR

  1. Faktor Yang Mempengaruhi Biaya Pendidikan

Dalam sistem pendidikan terdapat lima unsur penting, yaitu (1) tujuan, (2) output, (3) manfaat, (4) proses, dan (5) input. Setiap penggunaan input akan menimbulkan biaya bagi suatu sistem, baik yang dinyatakan secara fisik (real resources) maupun dalam satuan uang. Secara umum input yang digunakan dalam sistem pendidikan antara lain ialah siswa, guru, bahan pengajaran, fasilitas fisik, peralatan pendukung seperti air, listrik dll.

Jumlah yang diperlukan, kualitas dan proporsi dari berbagai input di atas tidak hanya tergantung pada jumlah siswa yang dilayani, tetapi juga tergantung pada sifat atau modus penyelenggaraan pendidikan, tujuan pendidikan, dan kebutuhan siswa. Selain dari faktor-faktor ini, besarnya biaya penyelenggaraan pendidikan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, di antaranya yang berada dalam kendali sekolah, ialah (1) teknologi yang diterapkan di bidang pendidikan, (2) struktur gaji guru, (3) jumlah siswa DO dan yang mengulang, dan (4) tingkat penggunaan sumberdaya yang di miliki.

Penerapan teknologi di bidang pendidikan berkaitan dengan pengamatan mengenai pengaruh penyelenggaraan pendidikan dasar yang bersifat labour-intensive terahadap biaya pendidikan. Dengan sifatnya yang labour-intensive, maka segala upaya yang ditempuh sekolah untuk meningkatkan mutu, misalnya dengan cara menurunkan besar kelas atau menurunkan rasio siswa guru, dan meningkatkan mutu guru akan selalu berakibat tingginya biaya pendidikan. Tetapi apakah penerapan teknologi modern akan dapat menurunkan biaya pendidikan masih harus dikaji lebih mendalam, karena hal ini akan sangat bergantung pada kondisi masing-masing kabupaten/kota dan sekolah.

Pengaruh struktur gaji guru dimaksudkan di sini ialah bahwa dengan bertambah lamanya waktu, jumlah gaji guru akan semakin meningkat karena adanya kenaikan gaji, kenaikan pangkat, tunjangan dan sebagainya. Terlebih lagi jika jumlah guru baru yang masuk ke sekolah dengan gaji awal yang biasanya rendah, jauh lebih sedikit.

Semakin tinggi jumlah siswa DO dan yang mengulang akan berakibat semakin tingginya biaya yang dikeluarkan sekolah per lulusan yang dihasilkan. Karena dalam keadaan seperti ini berarti banyak biaya input yang diserap menjadi rata-rata.

Biaya satuan per siswa juga dipengaruhi oleh tingkat pemanfaatan waktu guru dan fasilitas pendidikan yang dimiliki. Investasi gedung dan peralatan yang mahal tetapi tidak optimal pemanfaatannya (ideal), akan berakibat tingginya biaya pendidikan. Upaya mengalokasikan dan menggunakan sumberdaya yang dimiliki secara lebih baik erat kaitannya dengan upaya menekan biaya pendidikan.

Memperhatikan berbagai faktor di atas, maka biaya penyelenggaraan pendidikan akan sangat bervariasi antara satu sekolah dengan sekolah lainnya, antara sekolah desa dengan kota, antara sekolah biasa dengan sekolah favorit, dan antara berbagai jenjang kelas. Mengetahui sepenuhnya mengenai pengaruh dari faktor-faktor di atas terhadap biaya pendidikan akan sangat membantu sekolah dalam menyusun anggaran tahunannya baik anggaran operasional maupun anggaran untuk investasi dan pengembangan.

  1. UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS

Undang Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas mengatur pendanaan pendidikan untuk sekolah dalam Pasal 46, 47, dan 48. Dalam Pasal 46 ayat (1) menyatakan bahwa: “Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat”. Dalam ayat (2) berbunyi: “ Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945”. Selanjutnya dalam ayat (3) dinyatakan: “Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”.

Dalam Pasal 47 ayat (1) berbunyi: “Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan”; ayat (2) berbunyi: “Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”; ayat (3) berbunyi: “Ketentuan mengenai sumber pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”.

Pasal 48 ayat (1) berbunyi: “Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik”; dalam ayat (2) berbunyi: “Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”.

Ketiga pasal di atas, dalam kaitannya dengan penelitian ini, dapat dinyatakan: pertama, bahwa sekolah diijinkan memungut dana pendidikan dari masyarakat secara langsung maupun tidak langsung; kedua, dana masyarakat yang telah terkumpul pengelolaannya harus mengikuti aturan hukum yang berlaku; ketiga, tujuan dari peraturan ini adalah untuk mencapai prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.

  1. UU RI Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara

Pasal 1, Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : “Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut “(angka 1).

Pasal 2, Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :

(h). “kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum”;

(i). “kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah”.

Pasal 3, ayat (1) “Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan”.

Ketiga pasal di atas, dalam kaitannya dengan penelitian ini, dapat dijelaskan bahwa: dana masyarakat yang diperoleh melalui pungutan/iuran/sumbangan wali murid/siswa/donatur oleh fihak sekolah/komite karena menggunakan fasilitas Negara atau difasilitasi oleh pemerintah termasuk ke dalam keuangan Negara.

  1. PP RI No. 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan

Pasal 1 ayat (3) dalam PP ini berbunyi: “Dana pendidikan adalah sumber daya keuangan yang disediakan untuk menyelenggarakan dan mengelola pendidikan”, dan dalam ayat (4) berbunyi: “Pendanaan pendidikan adalah penyediaan sumberdaya keuangan yang diperlukan untuk penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan”.

Dalam Pasal 2 ayat (1) berisi “Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat”. Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penyelenggara atau satuan pendidikan (SP) yang didirikan masyarakat; b. peserta didik, orang tua atau wali peserta didik; dan c. pihak lain selain yang dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.

 

Tanggung jawab peserta didik, orang tua, dan/atau wali peserta didik diatur dalam Pasal 47, Pasal 48, dan Pasal 49. Dalam Pasal 47 “Peserta didik, orang tua, dan/atau wali peserta didik bertanggung jawab atas:
a. biaya pribadi peserta didik;
b. pendanaan biaya investasi selain lahan untuk SP bukan pelaksana program wajib belajar
c. pendanaan biaya personalia pada SP bukan pelaksan program wajib belajar
d. pendanaan biaya nonpersonalia pada SP bukan pelaksana program wajib belajar
e. pendanaan sebagian biaya investasi pendidikan dan/atau sebagian biaya operasi pendidikan tambahan yang diperlukan untuk mengembangkan SP menjadi bertaraf internasional dan/atau berbasis keunggulan lokal”.

 

Dalam Pasal 48 berisi “Tanggung jawab peserta didik, orang tua, dan/atau wali peserta didik dalam pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf b sampai huruf e ditujukan untuk: a. menutupi kekurangan pendanaan SP dalam memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP); dan b. mendanai program peningkatan mutu satuan pendidikan di atas  SNP”.

 

Sumber pendanaan pendidikan diatur dalam Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52 dan seterusnya hingga Pasal 57. Dalam Pasal 51 ayat (1) berbunyi “Pendanaan pendidikan bersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat”, ayat (4) huruf c berbunyi “Dana pendidikan SP yang diselenggarakan oleh Pemerintah dapat bersumber dari: pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya yang dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan”.  Dalam ayat (5) huruf c berbunyi: “Dana pendidikan SP yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dapat bersumber dari: pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya yang dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan”.

 

Pasal 51 ayat (4) huruf c dan ayat (5) huruf c di atas berlaku untuk sekolah negeri, sedangkan untuk sekolah swasta berlaku Pasal 51 ayat (6) huruf d yang berbunyi “pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya yang dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan”. Dalam ketiga ayat di atas ditegaskan bahwa pungutan dari masyarakat dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan.

 

Dalam Pasal 52 disebutkan “Pungutan oleh satuan pendidikan dalam rangka memenuhi tanggung jawab peserta didik, orang tua, dan/atau walinya sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 dan Pasal 51 ayat (4) huruf c, ayat (5) huruf c, dan ayat (6) huruf d wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. didasarkan pada perencanaan investasi
b. diumumkan secara transparan
c. disimpan dalam rekening atas nama S.
d. dibukukan secara khusus oleh SP
e. tidak dipungut dari peserta didik atau orang tua/walinya yang tidak mampu secara ekonomis;
f. menerapkan subsidi silang
g. digunakan sesuai dengan perencanaan sebagaimana dimaksud pada huruf a
h. tidak dikaitkan dengan penerimaan peserta didik,
i. penilaian hasil belajar peserta didik dan/atau kelulusan peserta didik dari SP
j. pengumpulan, penyimpanan, dan penggunaan dana diaudit oleh akuntan publik
k. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 55 ayat (1) “Peserta didik atau orang tua/walinya dapat memberikan sumbangan pendidikan yang sama sekali tidak mengikat kepada satuan pendidikan secara sukarela di luar yang telah diatur dalam Pasal 52”. Pasal 55 ayat (2) “Penerimaan, penyimpanan, dan penggunaan sumbangan pendidikan yang bersumber dari peserta didik atau orang tua/walinya, diaudit oleh akuntan publik, diumumkan secara transparan di media cetak berskala nasional, dan dilaporkan kepada Menteri apabila jumlahnya lebih besar dari jumlah tertentu yang ditetapkan oleh Menteri”.

 

Pengelolaam dana pendidikan diatur dalam Pasal 58, Pasal 59, dan seterusnya hingga Pasal 73. Pasal 63 ayat (1) Penerimaan dana pendidikan yang bersumber dari masyarakat oleh SP yang diselenggarakan oleh Pemerintah dikelola sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam ayat (2) disebutkan : “Dana pendidikan pada satuan pendidikan bukan penyelenggara program wajib belajar yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang belum berbadan hukum dikelola dengan menggunakan pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum”.

 

Secara garis besar dari Pasal-Pasal di atas dapat disimpulkan: pertama, sekolah/SP selain wajib belajar diijinkan melakukan pungutan dana pendidikan kepada masyarakat dalam bentuk SPP dan dana yang lain/hibah; kedua, penerimaan, penyimpanan, dan penggunaan dana SPP dan dana lain/hibah harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengingat dalam setiap pasal yang berkaitan dengan penerimaan, penyimpanan, dan penggunaan selalu dikaitkan dengan kata dikelola sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Pasal-pasal dalam PP RI No. 48 Tahun 2008 ini secara implisit menegaskan bahwa dana masyarakat yang diperoleh oleh SP yang diselenggarakan Pemerintah/pemerintah daerah merupakan uang Negara.

 

Terkait dengan kebijakan pembiayaan fcendanaan) pendidikan perlu pola dasar kebijakan pendanaan yang terfokus dan komprehensif. Untuk mengukur dampak biaya pendidikan terhadap mutu proses dan hasil belajar terdapat asumsi sebagai berikut: Pertama, berangsur-angsur dikembangkan kebijakan yang tidak membedakan sekolah negeri dan swasta, Kedua, bagi sekolah, baik negeri maupun swasta- yang dana masyarakat cukup besar, pemerintah tidak perlu lagi memberikan subsidi yang sama dengan akumulasi dana masyarakatnya kecil. Ketiga, perlu dicari varian-varian yang dapat dipakai untukmendinamisasikan pendanaan pendidikan yang mengarah ke satu pola. Keempat, subsidi parsial dipakai untuk menolong instusi yang lemah, misalnya diberikan bantuan gedung, guru atau bantuan lain.

Dalam upaya meningkatan aksesibilitas dan mutu pendidikan nasional, sejak beberapa tahun lalu pemerintah telah mengucurkan bantuan dana  pembangunan pendidikan dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang Pendidikan. Namun, bantuan dana yang diberikan pemerintah tersebut dinilai masih sangat kecil dan juga tidak memenuhi amanat konstitusi. UUD 1945 Amandemen IV Tahun 2002 telah mengamanatkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan.3

Selain UUD 1945 Amandemen IV Tahun 2002, hal tersebut juga di atur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional, yang berbunyi : “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% (dua puluh persen) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sector pendidikan dan minimal 20% (dua puluh persen) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Anggaran pendidikan sebesar 20% yang diambil dari APBN dan APBD ini dikenal dengan

istilah Dana Alokasi Khusus (DAK). Namun, apakah DAK bidang pendidikan sebesar 20% (dua puluh persen) ini dapat dipergunakan sebagaimana mestinya yaitu untuk Menuntaskan Pelaksanaan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, Pemerataan dan Perluasan Akses Pendidikan, serta Peningkatan Mutu, Relevansi dan Daya Saing Pendidikan, sesuai dengan harapan yang dikemukan oleh Presiden Susilo bambang Yudhoyono dalam Pidato Pengantar Rancangan APBN 2010 dan Nota Keuangan di depan Rapat Paripurna Luar Biasa Dewan Perwakilan Rakyat RI.5 Hal inilah yang akan dibahas lebih jauh dalam penulisan ini.

Pengertian dan Dasar Hukum DAK

a. Pengertian

DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK dialokasikan dalam APBN untuk daerah tertentu dalam rangka pendanaan desentralisasi untuk :

(1) membiayai kegiatan khusus yang ditentukan Pemerintah Pusat atas dasar prioritas nasional; dan

(2) membiayai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu. Kebutuhan khusus yang dapat dibiayai oleh DAK adalah kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan menggunakan rumus DAU, dan kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.

Berdasarkan ketentuan Pasal 162 Ayat (4) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan agar DAK ini diatur lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Pemerintah telahmengeluarkan PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Pelaksanaan DAK sendiri diarahkan pada kegiatan investasi pembangunan, pengadaan, peningkatan, dan/atau perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan masyarakat dengan umur ekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang, dan tidak termasuk penyertaan modal. Sebagai contoh, penggunaan DAK bidang pendidikan meliputi:

1. Rehabilitasi gedung sekolah/ruang kelas;

2. Pengadaan/rehabilitasi sumber dan sanitasi air bersih serta kamar mandi dan WC;

3. Pengadaan/perbaikan meubelair ruang kelas dan lemari perpustakaan;

4. Pembangunan/rehabilitasi rumah dinas penjaga/guru/kepala sekolah; dan

5. Peningkatan mutu sekolah dengan pembangunan/penyediaan sarana dan prasarana perpustakaan serta fasilitas pendidikan lainnya di sekolah.

DAK tidak dapat digunakan untuk mendanai administrasi kegiatan, penyiapan kegiatan fisik, penelitian, pelatihan, dan perjalanan dinas seperti pelaksanaan penyusunan rencana dan program, pelaksanaan tender pengadaan kegiatan fisik, kegiatan penelitian dalam rangka mendukung pelaksanaan kegiatan fisik, kegiatan perjalanan pegawai daerah dan kegiatan umum lainnya yang sejenis.

b. Dasar Hukum

  • DAK :
  1. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  2. Faktor Yang Mempengaruhi Biaya Pendidikan
  3. Dalam sistem pendidikan terdapat lima unsur penting, yaitu (1) tujuan, (2) output, (3) manfaat, (4) proses, dan (5) input. Setiap penggunaan input akan menimbulkan biaya bagi suatu sistem, baik yang dinyatakan secara fisik (real resources) maupun dalam satuan uang. Secara umum input yang digunakan dalam sistem pendidikan antara lain ialah siswa, guru, bahan pengajaran, fasilitas fisik, peralatan pendukung seperti air, listrik dll.

Jumlah yang diperlukan, kualitas dan proporsi dari berbagai input di atas tidak hanya tergantung pada jumlah siswa yang dilayani, tetapi juga tergantung pada sifat atau modus penyelenggaraan pendidikan, tujuan pendidikan, dan kebutuhan siswa. Selain dari faktor-faktor ini, besarnya biaya penyelenggaraan pendidikan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, di antaranya yang berada dalam kendali sekolah, ialah (1) teknologi yang diterapkan di bidang pendidikan, (2) struktur gaji guru, (3) jumlah siswa DO dan yang mengulang, dan (4) tingkat penggunaan sumberdaya yang di miliki.

Penerapan teknologi di bidang pendidikan berkaitan dengan pengamatan mengenai pengaruh penyelenggaraan pendidikan dasar yang bersifat labour-intensive terahadap biaya pendidikan. Dengan sifatnya yang labour-intensive, maka segala upaya yang ditempuh sekolah untuk meningkatkan mutu, misalnya dengan cara menurunkan besar kelas atau menurunkan rasio siswa guru, dan meningkatkan mutu guru akan selalu berakibat tingginya biaya pendidikan. Tetapi apakah penerapan teknologi modern akan dapat menurunkan biaya pendidikan masih harus dikaji lebih mendalam, karena hal ini akan sangat bergantung pada kondisi masing-masing kabupaten/kota dan sekolah.

Pengaruh struktur gaji guru dimaksudkan di sini ialah bahwa dengan bertambah lamanya waktu, jumlah gaji guru akan semakin meningkat karena adanya kenaikan gaji, kenaikan pangkat, tunjangan dan sebagainya. Terlebih lagi jika jumlah guru baru yang masuk ke sekolah dengan gaji awal yang biasanya rendah, jauh lebih sedikit.

Semakin tinggi jumlah siswa DO dan yang mengulang akan berakibat semakin tingginya biaya yang dikeluarkan sekolah per lulusan yang dihasilkan. Karena dalam keadaan seperti ini berarti banyak biaya input yang diserap menjadi rata-rata

Biaya satuan per siswa juga dipengaruhi oleh tingkat pemanfaatan waktu guru dan fasilitas pendidikan yang dimiliki. Investasi gedung dan peralatan yang mahal tetapi tidak optimal pemanfaatannya (ideal), akan berakibat tingginya biaya pendidikan. Upaya mengalokasikan dan menggunakan sumberdaya yang dimiliki secara lebih baik erat kaitannya dengan upaya menekan biaya pendidikan.

Memperhatikan berbagai faktor di atas, maka biaya penyelenggaraan pendidikan akan sangat bervariasi antara satu sekolah dengan sekolah lainnya, antara sekolah desa dengan kota, antara sekolah biasa dengan sekolah favorit, dan antara berbagai jenjang kelas. Mengetahui sepenuhnya mengenai pengaruh dari faktor-faktor di atas terhadap biaya pendidikan akan sangat membantu sekolah dalam menyusun anggaran tahunannya baik anggaran operasional maupun anggaran untuk investasi dan pengembangan.

UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS

Undang Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas mengatur pendanaan pendidikan untuk sekolah dalam Pasal 46, 47, dan 48. Dalam Pasal 46 ayat (1) menyatakan bahwa: “Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat”. Dalam ayat (2) berbunyi: “ Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945”. Selanjutnya dalam ayat (3) dinyatakan: “Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”.

Dalam Pasal 47 ayat (1) berbunyi: “Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan”; ayat (2) berbunyi: “Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”; ayat (3) berbunyi: “Ketentuan mengenai sumber pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”.

Pasal 48 ayat (1) berbunyi: “Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik”; dalam ayat (2) berbunyi: “Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”.

Ketiga pasal di atas, dalam kaitannya dengan penelitian ini, dapat dinyatakan: pertama, bahwa sekolah diijinkan memungut dana pendidikan dari masyarakat secara langsung maupun tidak langsung; kedua, dana masyarakat yang telah terkumpul pengelolaannya harus mengikuti aturan hukum yang berlaku; ketiga, tujuan dari peraturan ini adalah untuk mencapai prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.

UU RI Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara

Pasal 1, Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : “Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut “(angka 1).

Pasal 2, Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi

(h). “kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum”;

(i). “kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah”.

Pasal 3, ayat (1) “Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan”.

Ketiga pasal di atas, dalam kaitannya dengan penelitian ini, dapat dijelaskan bahwa: dana masyarakat yang diperoleh melalui pungutan/iuran/sumbangan wali murid/siswa/donatur oleh fihak sekolah/komite karena menggunakan fasilitas Negara atau difasilitasi oleh pemerintah termasuk ke dalam keuangan Negara.

PP RI No. 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan

Pasal 1 ayat (3) dalam PP ini berbunyi: “Dana pendidikan adalah sumber daya keuangan yang disediakan untuk menyelenggarakan dan mengelola pendidikan”, dan dalam ayat (4) berbunyi: “Pendanaan pendidikan adalah penyediaan sumberdaya keuangan yang diperlukan untuk penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan”.

Dalam Pasal 2 ayat (1) berisi “Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat”. Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penyelenggara atau satuan pendidikan (SP) yang didirikan masyarakat; b. peserta didik, orang tua atau wali peserta didik; dan c. pihak lain selain yang dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.

Tanggung jawab peserta didik, orang tua, dan/atau wali peserta didik diatur dalam Pasal 47, Pasal 48, dan Pasal 49. Dalam Pasal 47 “Peserta didik, orang tua, dan/atau wali peserta didik bertanggung jawab atas:
a. biaya pribadi peserta didik;
b. pendanaan biaya investasi selain lahan untuk SP bukan pelaksana program wajib belajar
c. pendanaan biaya personalia pada SP bukan pelaksan program wajib belajar
d. pendanaan biaya nonpersonalia pada SP bukan pelaksana program wajib belajar
e. pendanaan sebagian biaya investasi pendidikan dan/atau sebagian biaya operasi pendidikan tambahan yang diperlukan untuk mengembangkan SP menjadi bertaraf internasional dan/atau berbasis keunggulan lokal”.

Dalam Pasal 48 berisi “Tanggung jawab peserta didik, orang tua, dan/atau wali peserta didik dalam pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf b sampai huruf e ditujukan untuk: a. menutupi kekurangan pendanaan SP dalam memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP); dan b. mendanai program peningkatan mutu satuan pendidikan di atas  SNP”.

Sumber pendanaan pendidikan diatur dalam Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52 dan seterusnya hingga Pasal 57. Dalam Pasal 51 ayat (1) berbunyi “Pendanaan pendidikan bersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat”, ayat (4) huruf c berbunyi “Dana pendidikan SP yang diselenggarakan oleh Pemerintah dapat bersumber dari: pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya yang dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan”.  Dalam ayat (5) huruf c berbunyi: “Dana pendidikan SP yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dapat bersumber dari: pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya yang dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan”.

Pasal 51 ayat (4) huruf c dan ayat (5) huruf c di atas berlaku untuk sekolah negeri, sedangkan untuk sekolah swasta berlaku Pasal 51 ayat (6) huruf d yang berbunyi “pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya yang dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan”. Dalam ketiga ayat di atas ditegaskan bahwa pungutan dari masyarakat dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan.

Dalam Pasal 52 disebutkan “Pungutan oleh satuan pendidikan dalam rangka memenuhi tanggung jawab peserta didik, orang tua, dan/atau walinya sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 dan Pasal 51 ayat (4) huruf c, ayat (5) huruf c, dan ayat (6) huruf d wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. didasarkan pada perencanaan investasi ……dst…..; b. ……. diumumkan secara transparan……dst…; c. …… disimpan dalam rekening atas nama SP; d. …….. dibukukan secara khusus oleh SP …..dst…..; e. tidak dipungut dari peserta didik atau orang tua/walinya yang tidak mampu secara ekonomis; f. …….menerapkan subsidi silang…….; g. digunakan sesuai dengan perencanaan sebagaimana dimaksud pada huruf a; h. tidak dikaitkan dengan……dst ….. penerimaan peserta didik, penilaian hasil belajar peserta didik, dan/atau kelulusan peserta didik dari SP; ……dst ……; k. pengumpulan, penyimpanan, dan penggunaan dana diaudit oleh akuntan publik ……dst……; m. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 55 ayat (1) “Peserta didik atau orang tua/walinya dapat memberikan sumbangan pendidikan yang sama sekali tidak mengikat kepada satuan pendidikan secara sukarela di luar yang telah diatur dalam Pasal 52”. Pasal 55 ayat (2) “Penerimaan, penyimpanan, dan penggunaan sumbangan pendidikan yang bersumber dari peserta didik atau orang tua/walinya, diaudit oleh akuntan publik, diumumkan secara transparan di media cetak berskala nasional, dan dilaporkan kepada Menteri apabila jumlahnya lebih besar dari jumlah tertentu yang ditetapkan oleh Menteri”.

Pengelolaam dana pendidikan diatur dalam Pasal 58, Pasal 59, dan seterusnya hingga Pasal 73. Pasal 63 ayat (1) Penerimaan dana pendidikan yang bersumber dari masyarakat oleh SP yang diselenggarakan oleh Pemerintah dikelola sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam ayat (2) disebutkan : “Dana pendidikan pada satuan pendidikan bukan penyelenggara program wajib belajar yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang belum berbadan hukum dikelola dengan menggunakan pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum”.

Secara garis besar dari Pasal-Pasal di atas dapat disimpulkan: pertama, sekolah/SP selain wajib belajar diijinkan melakukan pungutan dana pendidikan kepada masyarakat dalam bentuk SPP dan dana yang lain/hibah; kedua, penerimaan, penyimpanan, dan penggunaan dana SPP dan dana lain/hibah harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengingat dalam setiap pasal yang berkaitan dengan penerimaan, penyimpanan, dan penggunaan selalu dikaitkan dengan kata dikelola sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Pasal-pasal dalam PP RI No. 48 Tahun 2008 ini secara implisit menegaskan bahwa dana masyarakat yang diperoleh oleh SP yang diselenggarakan Pemerintah/pemerintah daerah merupakan uang Negara.

 

    III.            PEMBAHASAN

Alokasi anggaran pendidikan pada tahun 2013, yang diklaim pemerintah telah mencapai 20% dari jumlah APBN sampai saat ini belum berhasil menyelesaikan permasalahan-permasalahan di dunia pendidikan. Sekitar 160 ribu sekolah di nusantara tercatat tidak layak pakai, mutu dan kualitas guru yang masih jauh di bawah standar. Mengutip dari kompas.com (23/05/2013) Pada uji kompetensi guru yang diikuti guru bersertifikat, rata-rata nasional untuk nilai guru hanya 43,2. Adapun nilai rata-rata nasional para guru yang belum bersertifikat di uji kompetensi awal berkisar 42,25. Di sisi lain, kondisi minimnya riset berkualitas yang mampu menembus di jurnal internasional setelah 15 tahun Reformasi masih menjadi persoalan. Publikasi ilmiah (1996-2009), berdasarkan data dari Scimago Journal & Country Rank, 2011, dalam satu tahun posisi Indonesia tidak beranjak. Pada tahun 2010, Indonesia berada di posisi 64, dan tahun berikutnya tetap di posisi 64 dari 70 negara. Negara-negara lain bisa maju, seperti Malaysia pada tahun 2011 di posisi 44 dan pada tahun 2010 di posisi 48. Adapun Banglades lebih unggul dari Indonesia di posisi 62. Thailand dan Singapura juga lebih unggul dari Indonesia. Di kawasan ASEAN, Indonesia belum mampu menembus dominasi Singapura, Malaysia, dan Thailand dalam berbagai penilaian mutu pendidikan. Misalnya, dalam pengukuran kemampuan sains, matematika, dan membaca lewat Program for International Student Assessment ataupun TIMS untuk siswa berusia 15 tahun, Indonesia berada di urutan bawah.

Beberapa fakta dan data diatas membuktikan bahwa anggaran yang besar tidak dapat menjamin perbaikan mutu pendidikan, malahan dengan semakin besarnya anggaran, semakin  menciptakan peluang korupsi di anggaran pendidikan. Mengutip pernyataan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada okezone.com (27/02/2013), Korupsi juga merajalela di sekolah dan perguruan tinggi. Banyak orangtua terpaksa menyuap sekolah agar anak-anak mereka lulus tes masuk, atau membayar fasilitas yang seharusnya disediakan oleh negara. Indonesian Corruption Watch (ICW) mengklaim, hanya sedikit sekolah Indonesia yang bersih dari korupsi, dengan 40 persen biaya operasional sekolah yang seharusnya menjadi jatah mereka “disunat” sebelum sampai ke ruang kelas.

Oleh sebab itu perlu adanya solusi penyelesaian permasalahan terbsebut, adapun upaya yang dapat dilakukan ialah :

Pemerataan Penyaluran Bantuan

Penyaluran anggaran selama ini dinilai tidak tepat sasaran dikarenakan masih banyaknya sekolah yang lebih membutuhkan , namun tidak tersentuh bantuan. Bantuan anggaran lebih berfokus kepada sekolah-sekolah diperkotaan. Sedangkan sekolah dipelosok daerah masih bnayak yang terbengkalai.  Perlu adanya skala prioritas dari pemerintah terhadap besaran bantuan yang diberikan setiap sekolahnya.

Meminta peran aktif pemerintah setempat unuk melaporkan keadaan sekolah baik infrastruktur maupun tenaga pengajar dengan semaksimal mungkin sehingga, sekolah yang sudah memasuki kategori urgent (sangat membutuhkan) bisa mendapat bantuan.

 

Penggunaan anggaran yang efektif dan efisien

Anggaran pendidikan sekarang ini tidak akan pernah terasa cukup, apabila penggunaannya tidak efektif dan efisien. Banyak sekali kebocoran anggaran yang terjadi selama ini. Salah satu fakta di lapangan ditemukan bahwa, banyaknya sekolah yang rusak di karenakan pembangunan sekolah menggunakan material yang tidak standar, sehingga sangat mudah rusak. Hal semacam ini terus berulang dan bahkan sudah menjadi budaya dikalangan pemangku jabatan baik di pihak kementrian maupun pihak sekolah. Apabila hal ini terus dibiarkan maka, kebutuhan anggaran akan infrastruktur tidak akan pernah tercukupi

Penguatan Pengawasan Penyaluran Anggaran

Minimnya pengawasan penyaluran anggaran pendidikan di daerah, membuat prkatek korupsi makin merajalela. Perlu adanya tindakan pengawasan yang ketat dari pihak yang terkait, baserta ikut mengajak masyarakat turut melaporkan segala macam tindakan – tindakan yang tidak diperbolehkan seperti pungutan liar (pungli) dan sejenisnya. Selain itu, memastikan setiap anggaran tersalurkan dengan baik kepada pihak yang semestinya menerima.

Dalam pengawasan pengelolaan anggaran, perlu adanya lembaga yang kompeten, professional, independen serta akuntabel dalam menjalankan pengawasan akan anggaran, dalam hal ini BPK (Badan Pengawas Keuangan) memiliki kewajiban untuk memeriksa jlur keuangan anggaran serta transparan. Sehingga masyrakat dapat menilai langsung apakah, penyaluran anggaran selama ini sudah terawasi atau tidak.

Anggaran yang besar tidak dapat menjamin kualitas pendidikan, masih banyak aspek yang mesti diperhatikan. Perlu adanya peranan dan kesadaran dari semua pihak agara tujuan pendidikan yang tertulis dalam  UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 akan semakin mudah untuk dicapai.

 

Hak pendidikan

Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Dengan visi ini maka pendidikan harus diarahakan menju pendidikn yang lebih baik dan lebih baik lagi. Visi semata tanpa adanya program dan kegiatan yang jelas, maka hanyalah mimpi. Maka visi itu harus diterjemahkan dalam agenda yang jelas, apa programnya, berapa dananya, siapa penanggungjawabnya, bagaimana dan kapan dilaksanakan dan seterusnya. Jika program dan kegiatan itu membumi, maka penulis yakin permasalahan pendidikan yang sebagian penulis sebutkan di awal tulisan menjadi terminimalisir.

Dalam UU Nomor 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Hak yang sama ini dimiliki oleh mereka, baik yang berada di perkotaan maupun pedesaaan bahkan sampai daerah terpencil, dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, anak-anak maupun dewasa, yang terlahir sempurna maupun yang dianugerahi dengan kelainan. Maka menjadi kewajiban pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk memperhatikan hak pendidikan ini. Pemerintah wajib memberikan layanan dan kemudahan bagi setiap warga, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu.

Upaya perbaikan

Kemdikbud khususnya dan kementerian lain yang juga mendapat alokasi dana pendidikan ini hendaknya melaksanakan reformasi birokrasi di instansinya. Hal ini bisa diciptakan pertama melalui peningkatan kompetensi SDM yang ada di dalamnya, mulai dari level tertinggi sampai level terendah, mulai dari yang berada di balik meja sampai dengan yang langsung turun tangan berhadapan dengan stakeholder. Pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Selain itu perlunya dibentuk segera lembaga pengawasan pendidikan. Dengan alokasi dana sangat besar, maka dimungkinkan terjadi penyelewengan. Oleh karena itu adanya lembaga pengawasan yang independen diharapkan akan tercapainya aspek akuntabilitas publik, sehingga dana itu dipastikan akan sampai kepada pemiliknya dan tidak bocor di tengah jalan. Dalam tataran perencanaan anggaran, setiap pemangku kepentingan terutama yang bergerak di bidang budget planning hendaknya menjadikan Performance Base Budgeting sebagai acuan, karena setiap rupiah uang yang keluar dari APBN harus dapat ditunjukkan kinerjanya. Termasuk dalam hal ini adalah anggaran pendidikan yang mendapat porsi yang besar dari APBN. Selain itu, juga dengan meningkatkan kualitas belanja (quality of spending)sehingga belanja pemerintah ini dapat efektif. Penerapan prinsip “let managers manage” yang memberikan keleluasaan kepada K/L dalam proses penyusunan anggaran dan revisi anggaran hendaknya dipahami sebagai sebuah tanggung jawab untuk melakukan yang terbaik, bukan sebaliknya.Terakhir penulis berkeyakinan bahwa pendidikan dengan hati mampu mengalahkan segalanya. Beberapa prestasi pendidikan dapat diraih walau tanpa embel-embel dana yang cukup. Dengan peralatan sederhana para pelaku pendidikan bisa menghadirkan sesuatu yang “wow”, apalagi jika diberikan dana yang mencukupi, maka akan semakin besar efek multiplier yang dapat diberikan.

Masalah Pendidikan di Indonesia

Peran Pendidikan dalam Pembangunan

Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.

Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.

Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan

Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.

Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.

 

Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.

Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”

Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas

”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.

Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.

Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.

Privatisasi dan Swastanisasi Sektor Pendidikan

Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).

Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

 

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.

 

     IV. DAFTAR PUSTAKA

  1. Rahman, Fathur. 2011. Politik Anggaran Pendidikan yang Minus Keberpihakan. Jurnal Studi Pemerintahan. Volume 2 Nomer 1 Februari 2011.
  2. Maryanti,Sri. Analisis Peranan Pemerintah Provinsi Dalam Pemerataan Pendidikan diProvinsi Riau. Pekbis Jurnal. Vol.2 No.1. Maret 2010: 218-227.
  3. Adi Nugroho, Mashudi. 2013. Analisis Faktor-Faktor yang Menyebabkan Penumpukan Pencairan Dana APBN diAkhir Tahun. Jurnal Ilmiah.
  4. Sumenge, Ariel Sharon. 2013. Analisis Evektivitas dan Efesiensi pelaksanaan Anggaran Belanja Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA). Jurnal EMBA. Vol.1 no.3 September 2013 Hal. 74-81.
  5. Resep, Andre KP. 2005. Analisis Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah. Jurnal Pendidikan. JILID 14, Nomor 2, Juli 2005.
  6. Boy, Denny.etc. Analisis PengaruhAkuntabilitas Dan Transparansi PengelolaAnggaranAnggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah )APBS) Terhadap Partisipasi Orang Tua Murid. Jurnal Ekonomi Bisnis No.12 Vol. 14. Agustus 2009.
  7. Andriana, Novia.etc. Analisis Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Terhadap Realisisi Tata Kelola Anggaran Pembangunan Disektor Pendidikan Pemerintah Kabupaten Jombang. JUrnal Ilmiah.
  8. Putera, Roni Ekha. 2010. Formulasi Kebijakan Anggaran Pendidkan dalam Mewujudkan Peningkatan Pemerataan Pendidikan Era Otonomi Daerah di Kabupaten Solok. Demokrasi Vol. IX No. 2.
  9. Sutarto, Joko. 2005. Implementasi dan Dampak Kebijakan ANggaran Pendidikan pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Jurnal Pendidikan. Jilid 14, Nomor2.
  10. Ihsan, Ahmad.etc. 2012. Penentuan Nominal Beasiswa yang diTerima Siswa dengan Metode Logika Fuzzy Tsukamoto. Jurnal Ilmiah Ilmu Komputer, vol. 8 no.2 Maret 2012: 167-173.
  11. Ilyas, Taufiq Rahman.etc. Evaluasi Implementasi Program Bantuan Oprasional Sekolah Dasar (Studi di  SDN Bulusari Tarokan Kabupaten Kediri) Jurnal Administrasi Publik (JAP). Vol. 1. No. 7. Hal 1331-1339.
  12. Indubri, Paulus Yulius. 2011. MAnajemen Pendidikan Sekolah dan Kualitas Pendidikan. Terakreditasi SK DIRJEN DIKTI No. 66b/DIKTI/KEP/2011.
  13. Suryono, Arif.etc. Implementasi Peraturan Pemerintah Nomer 66 Tahun 2010 Terhadap Pemberdayaan Dewan PEndidikan dan Komite Sekolah. Jurnal Pendidikan.
  14. Adi Nugroho, Mashudi. 2013. Analisis Faktor-Faktor yang Menyebabkan Penumpukan Pencairan Dana APBN diAkhir Tahun. Jurnal Ilmiah.
  15. Arifi, Ahmad. 2008. Anggaran Pendidikan dan Mutu Pendidikan. Jurnal Pendidikan Agama Islam. Vol. V No.1.