Peningkatan Daya Saing Indrustri di Indonesia untuk Menghadapi ACFTA

 

Peningkatan Daya Saing Indrustri di Indonesia untuk Menghadapi ACFTA

 

NAMA : ATIKA NAFRIDAYANTI

KELAS : 1EB16

NPM : 21213479

TOPIK : Globalisasi Ekonomi

Universitas Gunadarma

 

  1. PENDAHULUAN

 

  • LATAR BELAKANG

 

Indonesia dengan penduduk sekitar 230 juta merupakan pasar yang menggiurkan bagi negara-negara maju. Apalagi regulasi yang melindungi konsumen di pasar nasional dari penetrasi produk asing boleh dikatakan minim. Perdagangan bebas antara Indonesia dengan negara lain tak bisa ditolak, termasuk ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement). ACFTA merupakan perjanjian kerjasama ekonomi yang dibuat oleh ASEAN dengan Negara China yang mulai dilaksanakan pada tahun 2010. Kerjasama ekonomi ini meliputi pembebasan bea masuk barang dari China ke ASEAN dan sebaliknya. Pembebasan bea masuk barang dimaksudkan untuk memperlancar distribusi barang yang berakibat pada kemajuan perekonomian kedua belah pihak.

Banyak masyarakat yang mengkhawatirkan ACFTA akan merugikan produsen dalam negeri yang akan berdampak banyaknya perusahaan yang akan gulung tikar. Hal ini mengingat harga barang asal China jauh lebih murah dibandingkan dengan produksi Indonesia, sehingga produk Indoneisia kalah bersaing. Beberapa pihak lain berpendapat bahwa ACFTA ini adalah momentum untuk kebangkitan usaha di Indonesia, karena dengan adanya persaingan dengan barang asal China, maka pengusaha akan semakin kreatif dan inovatif dalam meningkatkan kualitas barang yang mereka perdagangkan agar dapat menyaingi produk dari luar.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menilai perjanjian kerja sama perdagangan bebas ACFTA secara umum lebih menguntungkan Indonesia. Dia menegaskan bahwa China kini menjadi salah satu pasar terbesar di wilayah Asia. Ekspor Indonesia ke China pun terus mengalami peningkatan, bahkan pada tahun 2009, ekspor nonmigas Indonesia ke negara itu telah mencapai 9,1%. Dari segi impor, bahwa impor produk China oleh Indonesia dari 2004 sampai 2009 terbesar berupa golongan barang modal dan bahan baku penolong, bukan barang konsumsi. Barang dan bahan baku penolong ini selanjutnya dimanfaatkan oleh industri di dalam negeri. Oleh karena itu, menurut Mari, dengan ACFTA justru membantu daya saing kita. Kita dapat mengakses mesin atau barang modal lainnya maupun bahan baku penolong dengan harga yang lebih murah karena adanya fasilitas bea masuk yang lebih rendah, sehingga harganya lebih murah.

 

Ada dua ancaman yang dihadapi oleh ekonomi dunia saat ini yaitu krisis global dan perubahan iklim. Kedua ancaman ini mempengaruhi kehidupan banyak orang di penjuru dunia, terutama masyarakat miskin. Tulisan ini akan mengkaji peran kementrian keuangan dalam menghadapi krisis ekonomi yang saat ini sedang terjadi di wilayah Eropa.

Krisis ekonomi di Eropa setidaknya terjadi semenjak November 2009. Pada bulan

ini, tingkat bunga dari beberapa surat hutang Pemerintah menanjak drastis di beberapa negara di Eropa. Hal ini disebabkan oleh interaksi antara penurunan rating oleh berbagai jawatan rating dan spekulasi oleh bank dan dana lindung nilai di CDS dan pasar surat hutang.

Perdagangan antar Negara sudah dilakukan sejak beratus-ratus tahun lamanya, yang antara lain dikenal dengan imperium transregional Asia, Eropa, ataupun Timur Tengah. Imperium Global utama yang melakukan perdagangan transregional pada masanya adalah sepanyol yang melakukan peradaban Aztec, Inca dan Maya. Pax Britanicca dan Pax Americana yang merupakan imperium modern ke 4 dan sangat mempengaruhi kondisi perdagangan dunia.

 

Keberadaan Pax Imperium tersebut merupakan cikal bakan dari konsepsi perdagangan bebas (liberalisasi perdaganagan internasional) yang awal mulanya di usung oleh WTO (World Trade Organization). Apabila suatu Negara telah bergabung menjadi anggota WTO berate secara otomatis harus bersedia membuka pasar bagi Negara lain dan menerima segala konsekuensinya perdagangan bebas tersebut.

 

Proses perdaganan bebas secara umum dimaksudkan untuk meningkatkan peradaban dan kesejahteraan Negara-negara yang terlibat didalamnya (Samuelson dan Nordhaus, 1992). Demikian halnya kerjasama yang dilakukan dengan ASEAN dengan China yang dimaksudkan untuk meningkatkan erekonomian dan kesejahteraan dua belah pihak. Kerja sama yang dikemas dalam Asean – China Free Treed Agreement ini bukan lah perjanjian perdaganagan bebeas pertama yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan Negara lain baik secara bilateral maupun mltirateral. Sebelumnya perjanjian bebas telah di tanda tangani pemerintah, diantaranya Asean Free Treed Agree (AFTA), ASEAN-Australia-New Zealand Free Treed Agreement (FTA) dan Indonesia-Japan Partnership Agreement.

 

ACFTA adalah suatu keharusan, mau tidak mau, siap tidak siap, masa itu akan datang. ACFTA sulit untuk di hindari tidak ada jalan lain selain maju. Cara terbaik saat ini adalah meningkatkan kerjasama antara pemerintah dengan usaha, demi mengemnbangkan potensi dan kekuatan local, serta meningkatkan profesionalisme dan system administrasi yang ada. Bersaing business to busniees dengan china memeng sulit kita tidak boleh kehabisan akal (Sofjan Wanandi, Kompas 24 Desember 2014). Diperlukan adanya dukungan pemerintah, pelaku usaha maupun instasi terkait secara sinergis sehingga produk indrustri dapat bersaing, berkembang sehingga dapat meningkatkan perekonomian Negara, memperbaiki traf hidup masyarakat serta meningkatkan kesejahteraan dan keamanan, Dalam demikina akan terwujud kondisi yang kondusif dalam melanjutkan pembangunan guna menyerap tenaga kerja untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam rangka stabilitas nasional.

 

Dasar:

  • Bedrijsfregmenteerings Ordonnantie Tahun 1934
  • Staatsblad Nomor 86 Tahun 1938 tentang penyaluran Perusahaan.
  • UU No.10 tahun 1961 tentang Barang
  • UU No. 11 tahun 1965 tentang Pergudangan.
  • UU No. 105 tahun 1984 tentang Perindrustrian
  • UU No. 32 tahun 1997 tentang perdagangan berjangka Komoditi

 

  • TUJUAN PENULISAN

 

Tujuan dari penuliasan ini adalah memberikan gambaran tentang kondisi daya saing indrustri Indonesia saat ini dan kesiapan dalam menghadapi ACFTA yang telah diberlakukan mulai 1 Januari 2010.

 

 

  1. TINJAUAN LITERATUR

 

Cina “sang naga ” terlihat sangat cepat mengambil peluang di pasar global. Cina yang sebelumnya menutup diri dengan kebijakan ekonominya yang sentralistik kini mulai membuka diri bagi perdagangan dan investasi. Pemerintah Cina merasa negaranya perlu melakukan transformasi ekonomi yang bersifat terbuka. Hal itu ditunjukkan dengan banyaknya kemudahan-kemudahan bagi pendiri usaha dan investasi.

            Salah satu kemudahan itu berupa rendahnya tingkat suku bunga yang berkisar antara lima sampai enam persen. Biaya angkutan dipelabuhan bagi industri yang melakukan ekspor juga ditekan semurah mungkin. Dengan pemberian kemudahan-kemudahan itu diharapkan industri Cina mampu menghasilkan produk yang berkualitas, murah, dan berdaya saing tinggi di pasar ekspor internasional. Dan diharapkan pula pasar akan mulai melirik produk Cina karena mampu berperan sebagai cost leader. (gatra, 2011)

            Usaha pemerintah Cina ini pelan-pelan mulai membuahkan hasil. Pada tahun 1996 Cina masih berada pada posisi 10 sebagai negara pengekspor terbesar dunia dan telah mencapai posisi 4 pada tahun 2003. Pada tahun itu, china berhasil mencapai mencapai volume perdagangan ekspor sebesar 5,88 miliar dollar AS. Pertumbuhan ini jelas menghawatirkan negara-negara tetangganya seperti negara di ASEAN. Sedangkan bagi Cina, ASEAN dengan 530 juta penduduknya, menjadi peluang yang besar bagi produk Cina. Apalagi adanya AFTA sebagai kawasan perdagangan bebas negara-negara ASEAN, Cina menjadi lebih agresif dengan menyatakan ingin bergabung dengan AFTA.

            Sedangakan bagi Indonesia, angka impor dari Cina pada jangka waktu mulai Januari 2010 sampai November 2010 naik 47,3% dibanding dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Cina adalah negara pemasok pertama di Indonesia kemudian Jepang dan Singapura. Serbuan produk Cina kedalam negeri semakin merajalela setelah diberlakukannya ACFTA.

            Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga november 2010, indonesia mengalam defisit neraca perdagangan dengan Cina yang cukup besar. Pada 11 bulan pertama itu, ekspor indonesia ke Cina sebesar 12,379 milyar atau sekitar  Rp 111,4 trilyun, sedangkan impor mencapai 17,695 milyar dollar AS. Artinya Indonesia tekor devisa US$ 5,316 milyar atau sekitar Rp 47,84 trilyun.

 

Dampak diberlakukannya ACFTA Bagi Perekonomian Indonesia

Setelah diberlakukannya ACFTA, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa perekonomian Indonesia semakin morat-marit. Beberapa sektor semakin memburuk dan tidak jarang industri yang gulung tikar akibat serbuan produk Cina yang sangat gencar.

  1. Serbuan Produk Cina Mengancam Ekonomi Indonesia

Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Diproyeksikan 5 tahun ke depan penanaman modal di sektor industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5 miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM (industri kecil menegah). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk dari Cina (Bisnis Indonesia, 9/1/2010).

Serbuan  produk Cina dengan kualitas dan harga yang sangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja. Sebagai contoh, harga tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara 15% hingga 25%. Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat Usman, selisih 5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan, apalagi perbedaannya besar. Hal yang sangat memungkinkan bagi pengusaha lokal untuk bertahan hidup adalah bersikap pragmatis, yakni dengan banting setir dari produsen tekstil menjadi importir tekstil Cina atau setidaknya pedagang tekstil. Sederhananya, “Buat apa memproduksi tekstil bila kalah bersaing? Lebih baik impor saja,  murah dan tidak perlu repot-repot jika diproduksi sendiri.” (Bisnis Indonesia, 9/1/2010)

Gejala inilah yang mulai tampak sejak awal tahun 2010.tidak hanya disektor tekstil, bahkan sampai di sektor jamu tradisional pun juga mendapat ancaman. Misal, para pedagang jamu sangat senang dengan membanjirnya produk jamu Cina secara legal yang harganya murah dan dianggap lebih manjur dibandingkan dengan jamu lokal. Akibatnya, produsen jamu lokal terancam gulung tikar.

  1. Kekuatan Perekonomian Dalam Negeri Semakin Melemah Dan Tergantung Pada Produl Asing.

Segala sesuatu terlalu bergantung pada produk asing. Bahkan produk yang sangat sepele seperti jarum saja harus diimpor. Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor, sedangkan sektor- sektor vital ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing.

Indonesia memiliki kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan Cina? Data menunjukkan dari BPS (badan pusat statistik) bahwa tren pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke Cina sejak 2004 hingga 2008 hanya 24,95%, sedangkan tren pertumbuhan ekspor Cina ke Indonesia mencapai 35,09%. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat mungkin berkembang adalah ekspor bahan mentah, bukannya hasil olahan yang memiliki nilai tambah seperti ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat digemari oleh Cina yang memang sedang “haus” bahan mentah dan sumber energi untuk menggerakkan ekonominya.

 Strategi Indonesia Menghadapi Serbuan Produk Sang Naga

 Semenjak diberlakukan ACFTA pada tanggal 1 Januari 2010, itu menjadi “PR” besar bagi pemerintah Indonesia untuk memajukan perekonomian Indonesia. Dengan adanya ACFTA pemerintah di tuntut untuk bekerja keras dalam membuat strategi menghadapi ACFTA serta harus dibarengi dengan politik ekonomi pemerintah yang jelas dan tegas, khususnya untuk membangun daya saing dari keuntungan komparatif menjadi keuntungan yang kompetitif. Dengan adanya ACFTA ini seharusnya menjadi katup kebangkitan pasar domestik di Indonesia. Karena seharusnya kita bisa melihat adanya sebuah peluang dibalik strategi China yang memperluas pasarnya ke Negara-negara ASEAN seperti Indonesia, Singapura, Kamboja, dan Thailand.

Ada beberapa pendapat yang berkaitan dengan strategi menghadapi ACFTA Cins tersebut. Berikut adalah penjelasan dari beberapa pendapat tersebut:

              Pertama, Pengamat ekonomi Faisal Basri mengatakan bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam yang jauh melimpah dibandingkan dengan China. Jadi tidak mungkin industri Indonesia kalah bersaing dengan China jika bukan karena salah kelola. “Coba lihat, China itu negara dengan 4 musim, kita kan cuma 2. Cabe di sana Cuma ada waktu musim panas, di sini ada sepanjang tahun. Jadi tidak mungkin kita kalah,” kata Faisal dalam diskusi bertajuk Banjir Produk China Makin Gila, di Jakarta, Sabtu (23/4/2010).

Faisal menilai Indonesia hanya bisa berpangku tangan dengan menyalahkan banjirnya impor produk China. Padahal Indonesia juga harus bersikap adil dan berusaha bersaing dengan beredarnya produk China. “Sejak zaman Kerajaan Sriwijaya, dalam sisi apa pun kita dapat bersaing dengan China. Maka ayo dong, kita menatap China sebagai opportunity juga. Jangan mengeluh,” ujarnya.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan, Distribusi, dan Logistik Natsir Mansyur mengakui bahwa industri Indonesia memang  kalah persiapan dengan China dalam 10 tahun terakhir. Ia mengemukakan bahwa China sudah memulai free trade agreement (FTA) dan perjanjian pedagangan bebas lainnya lebih dulu sehingga mereka bisa mengalami kemajuan pesat dalam perdagangan dunia. “China sudah menggarap FTA sejak 10 tahun lalu. Industri hilir China 10 tahun lalu sudah memanfaatkan FTA. Jadi wajar saja jika RI masih kalah dengan China,” tuturnya. Selain itu China juga telah memulai standarisasi produk industri sejak 5 tahun lalu.

Maka Natsir mengatakan strategi yang harus diambil Indonesia dalam menghadapi ACFTA adalah dengan melakukan hilirisasi industri nasional. Menurutnya hilirisasi perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas produk industri nasional sehingga industri nasional tidak hanya menghasilkan produk bahan mentah tetapi menghasilkan produk yang memiliki nilai tambah tinggi. Pembenahan regulasi yang mengarah pada hilirisasi industri nasional juga perlu dilakukan. Dari sisi konsumen, masyarakat Indonesia diminta meningkatkan sikap cinta produk dalam negri sebagai salah satu cara mendukung pertumbuhan industri nasional. “Pemerintah bersama dengan masyarakat harus saling bekerja sama untuk meningkatkan mutu dan kualitas dari produk lokal, tentu untuk menjadikan produk lokal menjadi prioritas utama masyarakat Indonesia,” kata Natsir.

Bahkan Natsir menyindir, anggaran belanja pemerintah yang mencapai lebih dari Rp500 triliun harusnya digunakan untuk membeli produk dalam negeri, bukan luar negri. Jika keadaannya masih sama seperti sekarang, ia pesimistis industri nasional bisa bersaing dengan industri China.

Kedua, Ada beberapa strategi untuk menghadapi ACFTA, antara lain :

pertama, membenahi struktur birokrasi pemerintahan. Melihat model Australia dan Kanada yang menyatukan kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Internasional. Contoh lain kasus di Jerman yang merekrut lebih banyak sarjana-sarjana ekonomi daripada sarjana hukum dalam penerimaan pegawai di Kementerian Luar Negerinya. Hal ini dapat dikatakan bahwa kegiatan ekonomi mengambil alih diplomasi konvensional yang membahas isu-isu politik dan militer.

Kedua, memasukkan kepentingan diplomasi eko-politik kepada negara yang dituju, sambil memakai jaringan yang luas untuk membela konstituen bukan negara, khususnya masyarakat bisnis di negara lain. Hubungan AS-China yang telah berkembang pada masa 20 tahun ke belakang, merupakan contoh yang luar biasa ketika ekonomi menjadi faktor pendorong utama dalam membangun hubungan politik. Setiap kali pemerintah AS atau hubungan China dengan Taiwan dan ketika isu-isu ini bertentangan dengan kepentingan Beijing, organisasi yang merupakan lobby-lobby bisnis AS yang merupakan potensi pasar utama di negara tersebut, berperan aktif dalam ‘mempertahankan’ kepentingan ekspor. Ini menjadi contoh bagaimana ekonomi menjadi faktor penggerak hubungan politik.

Ketiga, menghidupkan kembali slogan ‘Aku Cinta Produk Indonesia’. Perilaku masyarakat Indonesia harus diubah, yang dulunya selalu berorientasi pada produk impor, yang dianggap lebih baik dan lebih trendy, harus membuka mata lebar-lebar bahwa produk asli Indonesia kualitasnya lebih baik dan juga selalu mengikuti trend. (warta gunadarma, 2010)

              Ketiga, perusahaan-perusahaan lokal harus me-redesign strategi bisnis-nya untuk memenangkan persaingan atau sekedar bertahan terhadap serangan produk Cina. Perusahaan perlu memperhatikan empat drivers utama (4P) untuk mencapai tujuan secara optimal: Pasar, Pengeluaran, Pekerja, dan Pengetahuan. (Tambunan, Tulus.2001)

Pemahaman yang lebih mendalam terhadap kebutuhan pasar dan respon yang cepat terhadap perubahan pasar akan mampu meningkatkan intimasi terhadap pelanggan (customer intimacy) dan mengikat pelanggan (customer locking) sehingga tidak pindah ke kompetitor. Untuk itu, perlu dilakukan needs-based segmentation dan dibangun innovation engine yang secara sinambung dan efektif menangkap customer needs, mentransformasikan needs tersebut dalam desain produk/servis yang tangguh serta membangun value proposition yang tepat.

Peningkatan efisiensi dan efektifitas biaya (cost) yang komprehesif akan mampu menekan biaya (price) yang perlu ditanggung oleh konsumen sehingga dapat memberikan value yang superior. Secara umum, ada empat level peluang peningkatan efisiensi dan efektifitas biaya (cost) yang dapat dioptimalkan: (1) peningkatan efisiensi dan produktivitas; (2) perbaikan kegiatan/aktivitas penunjang (systemic cost); (3) perbaikan kegiatan/aktivitas produksi (structural cost); (4) pemilihan bisnis apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak (inherent cost).

Pengelolaan pekerja yang optimal akan mampu meningkatkan kinerja organisasi yang tinggi dan profesional. Untuk itu, perusahaan perlu meninjau ulang kebijakan dan strategi pemberdayaan pekerjanya dengan menjawab tiga pertanyaan fundamental: (1) How to find the right people? (2) How to unlock their full potential? (3) How to maintain the right people?

Pengelolaan pengetahuan (knowledge management) yang baik akan memberikan nilai lebih bagi perusahaan (value creation) dan membangun keunggulan bersaing (competitive advantage). Secara umum, ada tiga pilar utama yang penting dalam knowledge management: (1) People, yaitu pekerja yang memiliki best knowledge, (2) Process, yaitu cara pekerja untuk membagikan best knowledgenya; (3) Teknologi, yaitu enabler yang memampukan best knowledge tersebut dapat diutilisasi oleh organisasi.

              Keempat, Menurut Ketua Komisi IV DPR, Airlangga Hartarto. Airlangga menilai untuk menghadang derasnya arus barang dari Cina, ada dua langkah besar yang harus dilakukan pemerintah. Yaitu “merumuskan kebijakan ekonomi yang dapat meningkatkan daya saing dan menerapkan kebijakan yang bisa menghambat masuknya produk Cina ”.

Agar daya siang meningkat, harus dilakukan berbagai upaya. Antara lain, mendorong penurunan suu bunga kredit bank, perbaikan infrastruktur, penyediaan bahan bakar yang memadahi untuk industri, dan tarif dasar listrik yang terjangkau. Nnamun yang disesalkan, daya saing nasional belum tercipta, pemerintah malah mau menaikkan harga listrik. Direktur PLN, Dahlan Iskan ngotot agar tarif listrik untuk industri dinaikkan, sedangkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral masih pikir-pikir.

Upaya mengurangi produk Cina yang dilakukan selama ini masih sebatas dengan hambatan nol tarif. Karena berdasarkan ACFTA, bea masuk dari dan ke Cina adalah 0%. Caranya, mengharuskan labelisasi produk yang masuk ke Indonesia dengan bahasa indonesia. Sehingga memang barang yang disiapkan untuk diekspor ke Indonesia yang masuk.

Langkah kedua adalah membatasi pelabuhan impor. Meskipun kementrian perdagangan hanya menetapkan tujuh pelabuhan sbagai pintu masuk ke Indonesia, namun kenyataannya barang bisa masuk dari selain tujuh pelabuhan tersebut. (gatra,2011)

              Kelima, Untuk mengantisipasi dan menghadapi gempuran produk impor dari Cina kelak masuk ke Indonesia, ada beberapa strategi dan kebijakan yang perlu dilakukan, dengan cara mengefektifkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 56/2008 yang mengharuskan setiap barang impor yang masuk ke Indonesia harus sud`ah lolos verifikasi Sucofindo.

Demikian diungkapkan Pengamat Ekonomi Untan, Evi Asmayadi, menurutnya, hasil verifikasi itu bisa dicantumkan dalam bentuk sertifikat yang ditempel di setiap barang produk impor yang masuk ke pasar Indonesia. Kemudian segera diberlakukan penggunaan Standar Nasional Indonesia (SNI) terhadap produk impor, termasuk produk buatan Cina yang akan masuk. Selanjutnya, kata ia SNI tersebut juga harus diberlakukan terhadap produk-produk buatan pabrik milik perusahaan Cina yang ada di Indonesia.  “Penerapan SNI ini penting untuk menciptakan standarisasi produk-produk impor  yang masuk ke Indonesia,” kata Evi via email, Senin (25/1) lalu.

Ia menambahkan, hal yang tak kalah penting adalah membenahi faktor-faktor yang menyangkut peraturan dan perijinan, meminimalisir ekonomi biaya tinggi, menurunkan suku bunga kredit, mempercepat pembangunan dan perbaikan infrastruktur, khususnya listrik, jalan, air bersih, dan pelabuhan, kemudian  meningkatkan kualitas entrepreneur dan tenaga kerja,  teknologi produksi, pemasaran, keuangan,  iklim usaha dan investasi.

 

 

  1. PEMBAHASAN

 

ASEAN – China Free Treed Agreement merupakan salah satu persetujuan multirateral yang disepakati dalam era global diamana bea masuk barang dari luar negeri menjadi nol. Ini menunjukan kemudian bahwa yang disaingkan bukan hanya aspek perdagangnnya tapi juga adalah terutama aspek prodeksinya. Negara dengan aspek pengelolaan indrustri yang kurang baik dapat dipastikan akan kalah sebelum perang.

Dengan diberlakukan ACFTA diprediksikan akan banyak indrustri yang gulung tikar selama dan dengan sendirinya akan meningkatkan jumlah pengangguran di Indonesia. Indrustri di Indonesia dianggap belum siap bersaing dengan produk-produk China, antara lain: indrustri permesinan, sector perkebunan dan pertanian, industry makan dan minuman, indrustri petrokimia, industry tekstil dan produk tekstil, indrustri alas kaki, indrusri elektronik dan peralatan listrik, indrustri besi baja, indrustri baja, indrustri pelastik dana jasa permesinan.

Implementas dari ACFTA tentunya akan memberikan dampak terhadap dinamika lingkungan strategis bangsa Indonesia, tidak hanya pada bidang ekonomi , tetapi juga pada bidang bidang lainnya seperti, sosial, budaya, politik, pertahnan dan keamanan. Samapi sejauh ini masih terdapat beberapa permasalahan internal yang menyebabkan posisi tawar Indonesia tidak menguntungkan dalam kerja sama ACFTA tersebut, baik dilihat dari sekala regional apalagi global.

Secara geopolitik dan geostrategic Indonesia terletak ditengan-tengah kawasan yang strategis dan dinamis di Asia Timur, serta berada dilingkup ketahan regional ASEAN yang menjadi sentra perekonomian Negara-negara berkembang yang perekonomiannya hidup seperti China, India Negara-negara Amerika Latin dan Rusia serta Eropa Tengah dan sejumlah Negara Asia. Disamping pertimbangan geopolitik dan geostrategic tersebut, Indonesia juga memiliki sumber daya alam yang besar dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 dunia dan menerapkan Negara yang berdemokrasi terbesar didunia.

Secara umum, Indonesia seharusnya mampu menjadi dribving force bagi Negara Negara ASEAN dan the next power di Asia. Realitasnya Indonesia Negara yang terluas dikawasan dengan kekayaan alam yang melimpah dan jumlah penduduk 237,5 juta jiwa terbesar ke4 didunia. Selain itu Indonesia memiliki PDB 510,8 juta dolar AS. Terkait dengan kondisi perekonomian, kondisi ekonomi makro Indonesia telah mulai membaik yang di tandai dengan semakin meningkatnya laju pertumbuhan ekonominasional, menurunnya laju inflasi dan peningkatansektorindrustri pengelolahan nonmigas.

Terkait dengan AFCTA, secara bilateral Indonesia mempunyai beberapa kepentingan kerjasama dengan China, yaitu selain sebagai mitra kerja sama bilateral juga merupaka pijakan Indonesia dalam memosisikan diri di kawasan ASIA.  Bagi China, Indonesia merupakan [pangsa pasar besar dimana hampir sepertiga penduduk ASEAN berada si Indonesia.

Sampai sejauh ini, investasi asing ke Indonesia belum secara konforensif mempertimbangkan aspek strstegis geografis secara menyeluruh. Sehingga banyak investasi yang tertanam dipulau Jawa dan mengabaikan wilayah lain, khususnya wilayah Indonesia bagian timur. Dampakmnya terjadi kesenjangan kesejahteraan dan terjadi urbanisasi yang besar ke pulau Jawa.

Indonesia memiliki berbagai sumber kekayaan alam yang melimpah dan belum sepenuhnya terolah. Hal itu antara lain dikarenakan minimnya teknologi dan sumber daya yang ada. Minimnya teknologi tersebut juga mnejadi penyebabterjadinya eksplotasi kekayaan alam Indonesia oleh pihak asing. Dengan adanya kerja sama bilateral khuiususnya dengan China akan terjadi simbiose mutualisme yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk alih teknologi dimasa datang.

Kondisi ekonomi dalam negeri yang belum sepenuhnya pulih dari krisis bisa jadi masalah dalam peningkatan kerja sama hubungan antara Indonesia dengan china. Produsen domestic yang lemah akan terkena dampak besar dari masuknya produk-produk China dalam jumlah besar dengan harga yang murah. Denga kondisi perekonomian kita yang high cost economy, mayoritas produsen domestic akan kalah bersaing.

Sektor pertanian dan energy merupakan salah satu keunggulan yang dimiliki oleh Indonesia. Untuk itu diperlukan upaya untuk menciptakakn ketahahnan disektor tersebut sehingga dapat berdaya saing dalam kerja sama Indonesia dan china yang dikemas dalam ACFTA.

Daya Saing Ekonomi Indonesia Menghadapi Perdagangan Bebas – ACFTA

Daya saing adalah kemampuan suatu negara untuk mencapai pertumbuhan PDB per kapita yang tinggi terus-menerus (World Economic Forum, Global Competitiveness Report, 1996). Daya saing nasional merupakan kemampuan suatu negara menciptakan, memproduksi dan/atau melayani produk dalam perdagangan internasional, sementara dalam saat yang sama tetap dapat memperoleh imbalan yang meningkat pada sumber dayanya (Scott, B. R. and Lodge, G. C., “US Competitiveness in the World Economy”, 1985). Daya saing harus dilihat sebagai suatu cara dasar untuk meningkatkan standar hidup, menyediakan kesempatan kerja bagi yang menganggur dan menurunkan kemiskinan. Competitiveness Advisory Group, (Ciampi Group): “Enhancing European Competitiveness”. Second report to the President of the Commission, the Prime Ministers and the Heads of State, December 1995. Daya saing menyangkut arti elemen produktivitas, efisiensi dan profitabilitas. Tetapi daya saing bukan suatu akhir atau sasaran, melainkan suatu cara untuk mencapai peningkatan standar hidup dan meningkatkan kesejahteraan sosial. – suatu alat untuk mencapai sasaran. Secara global, dengan peningkatan produktivitas dan efisiensi dalam konteks spesialisasi internasional, daya saing memberikan basis bagi peningkatan penghasilan masyarakat secara “non-inflasioner.” Competitiveness Advisory Group, (Ciampi Group) : “Enhancing European Competitiveness”. First report to the President of the Commission, the Prime Ministers and the Heads of State, June 1995. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa daya saing adalah kemampuan dalam menciptakan cara peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan mencapai pertumbuhan PDB per kapita yang tinggi serta unggul dalam produktifitas, efisiensi, dan profitabilitas yang secara global mengacu pada konteks spesialisasi internasional.

 

Beberapa alat pengukuran daya saing menurut Bank Dunia (World Bank, 2001), yaitu neraca perdagangan (trade balance), nilai tukar (exchange rate), upah (wages), ekspor (exports), aliran FDI (FDI flows), dan biaya tenaga kerja (unit labor costs). Sedangkan Institute for Management Development (IMD) berpendapat bahwa empat faktor utama penentu daya saing adalah Kinerja Ekonomi (Economic Performance), efisiensi Pemerintah (Government Efficiency), efisiensi Bisnis (Business Efficiency), dan infrastruktur (Infrastructure). Makalah Economic Outlook 2010 yang dilansir INDEF, menetapkan tiga penentu daya saing, yaitu masalah infrastruktur, efisiensi pasar tenaga kerja, dan stabilitas makro ekonomi.

Indonesia sebagai negara berkembang harus mampu menjaga daya saingnya dalam konteks internasional maupun nasional. Daya saing ekonomi di suatu negara merupakan akumulasi dari daya saing setiap unit usaha yang ada dalam negara tersebut. Guna mencapainya, pemerintah harus menjadi stabilitas politik, budaya, serta sosial yang tentu memiliki multiplier effect terhadap faktor ekonomi. Hal ini mengimplikasikan seberapa pentingnya suatu negara menjadi unit-unit usaha yang dimilikinya sehingga bisa melindungi daya saing secara internasional, terutama terkait dengan era perdagangan bebas.

 

Hal yang diprediksi akan menjatuhkan daya saing Indonesia, dari sisi sosial, seperti yang diungkap oleh Ketua Bidang Perdagangan Luar Negeri HIPMI Harry Warganegara adanya kasus kerusuhan di Pelabuhan Internasional Tanjung Priok yang dapat berakibat pada menurunnya rasa aman terhadap pelabuhan internasional tersebut lalu nilai asuransi kapal-kapal yang masuk akan meningkat dan daya saing pelabuhan akan melemah karena citra layanan perdagangan Indonesia tercoreng. Hasil survei Political and Economic Risk (PERC) menunjukkan risiko perekonomian Indonesia dinilai oleh para eksekutif bisnis berada dalam urutan terburuk dibandingkan sebelas negara besar Asia lainnya akibat masalah utama berupa buruknya birokrasi, infrastruktur fisik, dan sumber daya manusia.

 

ASEAN China Free Trade Area (ACFTA) yang disepakati pada tanggal 4 November 2004 oleh para kepala negara anggota ASEAN dan China dalam Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between The Association of Southeast Asian Nations and The People’s Republic of China (ACFTA) di Phnom Penh, Kamboja, menimbulkan pro-kontra akibat dampak positif dan negatif yang akan ditimbulkan, terutama bagi Negara Indonesia. ACFTA diterapkan di Indonesia sejak Januari 2010 hal itu berarti daya saing produk lokal terhadap impor dari China harus semakin ditingkatkan agar industri dalam negeri tetap bisa hidup di negerinya sendiri. Staff Departemen Perdagangan RI Firman Mutakin dan Aziza Rahmaniar Salam (2009) mengungkapkan prediksi berbagai pengamat mengenai dampak pemberlakuan ACFTA akan meningkatkan ekspor kelompok produk pertanian, namun akan memberi dampak negatif terhadap garmen, elektronik, sektor makanan, industri baja/besi, dan produk holtikultura karena Indonesia masih kalah efisien dengan China.

 

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menyatakan bahwa pemerintah optimis dalam menghadapi ACFTA karena daya saing industri lokal dianggap masih lebih unggul. Selain itu, iklim usaha di China yang mengalami penurunan akibat apresiasi mata uang, krisis pekerja di Guanzho, dan tingginya tingkat UMR dibandingkan Indonesia menjadikan mereka tidak kompetitif lagi beberapa tahun belakangan ini. Daya saing lokal dianggap lebih baik karena beberapa industri dalam kurun waktu 10 tahun belakangan telah sadar akan bersaing dengan produk China dalam konteks ACFTA. China dianggap sebagai penyedia bahan penolong hingga 90% bagi UMKM di Indonesia sehingga usaha yang ada di Indonesia bisa mendapatkan bahan baku dengan harga lebih murah sehingga menghasilkan profit yang lebih besar dan hal ini tentu menguntungkan industri lokal. Namun, daya saing Indonesia terkendala oleh lahan, logistik, birokrasi, tenaga kerja, dan biaya transportasi. Perbaikan di sistem logistik diperkirakan baru selsai 20 tahun lagi, tetapi biaya transportasi masih sangat tinggi.

 

Laporan International Institute for Management Development (IMD) dalam World Competitiveness Yearbook menyatakan daya saing Indonesia menempati urutan ke-52 pada tahun 2006, menurun 2 peringkat di tahun 2007, dan bahkan kemarin merosot menjadi 51 dari 55 negara. Hal yang berbeda diungkapkan oleh laporan survei dan data Departemen Perindustrian (2008), sektor industri Indonesia mengalami peningkatan daya saing secara kontinyu selama kurun waktu satu dekade ini, terutama pada industri mesin.

 

Terlepas dari pro kontra ACFTA dan perbedaan sudut pandang mengenai naik atau turunnya daya saing Indonesia dalam konteks perdagangan bebas, Indonesia harus mengambil langkah aktif dan preventif dalam meningkatkan pertumbuhan industri lokal serta menciptakan inovasi-inovasi produk secara efisien agar memiliki daya saing yang lebih unggul dibandingkan produk China dan negara-negara lainnya. Beberapa langkah yang mungkin diambil adalah perbaikan sistem birokrasi, efisiensi dan percepatan layanan transportasi, pembangunan infrastruktur, supplai bahan baku dengan harga murah, serta penyediaan balai latihan kerja untuk meningkatkan kualitas SDM industri lokal.

Ada beberapa langkah stategis yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan daya saing perekonomian Indonesia.

1. Menerapkan industri berbasis keunggulan daerah.Indonesia terdiri dari suku adat dan ,budaya.Mulai dari sabang sampai merauke .Begitu banyak potensi daerah yang belum sempat di gali dan    di  manfaatkan secara baik.

2. Perencanaan yang terintegrasi .Tidak berjalan terkontrolnya berbagai kebijakan perekonomian hal ini harus segera disudahi.Di era persaingan global yang semakin ketat ,Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan terintegrasi dan terencan dengan Maksimal.

3. Memahami kebutuhan pasar ACFTA menawarkan jumlah yang begitu besar dan divergen .Peluang ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin diferensi pasar harus dipetakan secara matang . para pengusaha harus melakukan hal tersebut .JIka tidak maka ancaman produk-produk cina adalah ancaman yang nyata.

 

  1. KESIMPULAN

 

ASEAN – China Free Treed Agreement merupakan salah satu persetujuan multirateral yang disepakati dalam era global diamana bea masuk barang dari luar negeri menjadi nol. Ini menunjukan kemudian bahwa yang disaingkan bukan hanya aspek perdagangnnya tapi juga adalah terutama aspek prodeksinya. Negara dengan aspek pengelolaan indrustri yang kurang baik dapat dipastikan akan kalah sebelum perang.

 

Dengan diberlakukan ACFTA diprediksikan akan banyak indrustri yang gulung tikar selama dan dengan sendirinya akan meningkatkan jumlah pengangguran di Indonesia. Indrustri di Indonesia dianggap belum siap bersaing dengan produk-produk China, antara lain: indrustri permesinan, sector perkebunan dan pertanian, industry makan dan minuman, indrustri petrokimia, industry tekstil dan produk tekstil, indrustri alas kaki, indrusri elektronik dan peralatan listrik, indrustri besi baja, indrustri baja, indrustri pelastik dana jasa permesinan.

 

Implementas dari ACFTA tentunya akan memberikan dampak terhadap dinamika lingkungan strategis bangsa Indonesia, tidak hanya pada bidang ekonomi , tetapi juga pada bidang bidang lainnya seperti, sosial, budaya, politik, pertahnan dan keamanan. Samapi sejauh ini masih terdapat beberapa permasalahan internal yang menyebabkan posisi tawar Indonesia tidak menguntungkan dalam kerja sama ACFTA tersebut, baik dilihat dari sekala regional apalagi global.

 

Dapat ditarik kesimulan bahwa untuk menghadapi ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement), pemerintah Indonesia harus melakukan beberapa langkah sebagai berikut:

1. Memperbaiki sistem pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia Indonesia yang melimpah.

2. Membenahi sistem birokrasi pemerintah dan sistem diplomasi eko-politik kepada negara yang dituju.

3. Merumuskan kebijakan yang dapat meningkatkan daya saing serta menerapkan kebijakan yang dapat menghambat produk China.

4. Mengefektifkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 56/2008 yang mengharuskan setiap barang impor yang masuk ke Indonesia harus sudah lolos verifikasi Sucofindo.

 

Sementara itu yang harus dilakukan oleh perusahaan-perusahaan adalah memperhatikan empat drivers utama (4P) untuk mencapai tujuan secara optimal. Diantaranya adalah:

1. Pasar,  Pemahaman yang lebih mendalam terhadap kebutuhan pasar dan respon yang cepat terhadap perubahan pasar.

2. Pengeluaran, Peningkatan efisiensi dan efektifitas biaya (cost) yang komprehesif sehingga dapat memberikan value yang superior.

3. Pekerja, Pengelolaan pekerja yang optimal akan mampu meningkatkan kinerja organisasi yang tinggi dan profesional.

4. Pengetahuan, Pengelolaan pengetahuan (knowledge management) yang baik akan memberikan nilai lebih bagi perusahaan (value creation) dan membangun keunggulan bersaing (competitive advantage).

 

  1. DAFTAR PUSTAKA
  • Effendi, Tatdjuddin Noer. Globalisasi dan Kemiskinan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol.7 No.2. November 2003(141-160)
  • Peningkatan Daya Saing Indrustri Indonesia. Jurnal Kajian Lenhamnas RI. Edisi 14. Desember 2012.
  • Hiarej, Eric. Perkembangan Kapitalisme Negara di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Politik. Vol.10 No.1. Juli 2006 (91-120)
  • Strategi Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah. Jurnal Ekonomi dan Pendidikan. Vol.2 No.1. Agustus 2014.
  • Ali Berawi, Mohemmed. Susanto, Bambang. Perkembangan kebijakan Pembiayaan Infrastruktur Transportasi Berbasis Kerjasama Pemerintah Swasta Indonesia. Juranal Transportasi. Vol.12 No.2. Agustus 2012 (93-102)
  • Perencanaan Pembangunan 2015-2019. Jurnal Prakarsa Infrastruktur Indonesia. Edisi 16. Januari 2014.
  • Salamah, Lilik. Lingkaran Krisis Ekonomi Indonesia. Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik Tahun 22, No. 1.
  • Cahyaningtyas, June. Perjuangan simbolik dalam ranah Diplomasi RI. Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik Tahun 22, No. 1.
  • Kemandirian Ekonomiu Solusi Untuk Kemajuan bangsa. 2003.
  • ‘Strategi Kerjasama Pembangunan Indonesia- Amerika Serikat 2014-2018. JurnalInvestasi Pembangunan di Indonesia. 2003.
  • Strategi Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah. Jurnal Ekonomi dan Pendidikan. Vol.2 No.1. Agustus 2014.
  • Riyantos S, Rum. Kemampuan dan Tantangan Bagi Indonesia dalam Menghadapi Krisis ekonomi Global. 2011.